AHWAL DALAM TASAWUF: IKHLAS DAN SYUKUR

Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh


AHWAL DALAM TASAWUF: IKHLAS DAN SYUKUR

A. Pengertian Ahwal

Ahwal berasal dari bahasa Arab yaitu الحالة atau dikenal dengan arti tingkah atau keadaan. Secara terminology Ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Maksudnya, hal adalah kondisi sikap yang diperoleh seseorang yang datangnya atas karunia Allah SWT kepada yang dikehendaki, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Imam Al Ghazali ahwal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu,baik sebagai buah dari amal sholeh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. 

Ahwal tidak bisa dipisahkan dari maqamat, karena ahwal itu merupakan kondisi atau keadaan yang diperoleh ketika kita sedang menjalankan prosesi maqamat itu sendiri. Maqamat digambarkan sebagai proses perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para sufi untuk memperoleh ketenangan rohaniah. Perjuangan ini merupakan perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu manusia yang dipandang sebagai kendala untuk menuju Tuhan. Sedangkan Ahwal sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Secara lebih lanjut para kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugrah dan maqam adalah prosesnya. Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal terpisah dari maqam.

Jika diruntut sejarahnya, konsep tentang maqamat dan ahwal sebenarnya sudah ada pada masa awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang dua konsep penting dalam tasawuf ini adalah Ali ibn Abi Thalib: ketika ia di tanya tentang iman, ia menjawab bahwa iman dibangun atas empat pondasi: kesabaran (shabr), keyakinan (yaqin), keadilan (‘adl) dan perjuangan (jihad). Senada dengan pandangan ini, tokoh pertama yang membedakan dua term ini (maqamat dan ahwal) adalah Dzunun al-Mishri (w. 796 M.-861 M.), sementara Sari al-Saqati (w.253H./867 M.) merupakan sufi pertama yang menyusun maqamat dan menjelaskan tentang ahwal.

Tidak berbeda jauh dengan maqamat, hal juga memiliki beberapa macam. Namun, konsep pembagian serta jumlah hal yang dikemukakan oleh para sufi berbeda-beda. Beberapa konsep pembagian ahwal adalah sebagai berikut: Muroqobah, Khauf, Raja’, Syauq, Mahabbah, Tuma’ninah, Musyahadah, Yaqin. Berikut ini adalah penjelasannya:

1)     Muroqobah.

Secara etimologi Muroqobah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Secara terminology muroqobah adalah salah satu sikap mental yang mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan merasa diawasi oleh-Nya.

2)     Khauf.

Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Khauf dapat mencegah seorang hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk berada dalam ketaatan. Imam Al-Ghazali membagi khauf menjadi dua bagian:

Khauf karena khawatir kehilangan nikmat. Khauf yang seperti inilah yang mendorong manusia untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya.

Khauf pada siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf yang seperti inilah yang mendorong untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.

3)      Raja’.

Raja’ bermakna harapan. Al-Ghazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Secara maknawi, raja’ adalah ketenangan hati karena menantikan sesuatu yang sangat diinginkan. Yang dimaksud Al-Ghazali dengan sesuatu yang diinginkan adalah pahala dan ridha dari Allah SWT. Al-Ghazali menambahkan bahwa raja’ perlu disertai dengan husnudzan (baik sangka) kepada Allah SWT dengan menjauhkan rasa keputus asaan akan rahmat-Nya.

4)     Syauq.

Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu ini memancar dari qalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa rindu kepada Allah maka seseorang harus terlebih dahulu menegenal dan mengetahui Allah. Jika pengenalan dan pengetahuan terhadap Allah telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang akan menimbulkaan cinta dan menumbuhkan rasa rindu, rasa rindu untuk selalu bersam Allah.

Menurut Al-Ghazali, seperti yang dikutip oleh M. Abdul Mujib dalam bukunya Ensiklopedia, Tasawuf Imam Al-Ghazali kehidupan kepada Allah dapat dijelaskan melalui penjelasan keberadaan cinta kepada-Nya. Pada saat tidak ada, setiap yang dicintai pasti dirindukan oleh orang yang mencintainya. Begitu hadir dihadapannya, ia tidak lagi dirindukan. Kerinduan berarti menanti sesuatu yang tidak ada, bila sudah ada tentu ia tidak dirindukan lagi.

5)     Mahabbah.

Menurut Imam Al-Ghazali, mahabbah adalah kecenderungan hati kepada yang dicintainya karena ia merasa senang berada didekatnya dan benci akan kebalikannya atau nalurinya anti pati terhadap selainnya karena tidak sesuai dengannya. Dan manakala kesenangannya makin bertambah itu artinya cintanya makin mendalam. Sedangkan asal cinta menurut Imam Al-Ghazali seperti yang tertulis dalam kitab IHYA ‘ULUMUDDIN jilid IV bab KHAQIQOTUL MAHABBAH, sumbernya cinta menurut Imam Al-Ghazali itu ada tiga perkara:

    • Mengenal dan bertemu.

    • Setelah mengenal dan bertemu, lalu menimbulkan kecocokan.

    • Setelah kecocokan menimbulkan ketaatan.

6)   Thuma’ninah.

Thuma’ninah berarti tenang tentram. Tidak ada perasaan khawatir ataupun was-was karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah ia telah kuat akalnya, kuat imannya, dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga:

  • Ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berdzikir. 
  • Ketenangan bagi orang-orang khusus. Pada tingkatan ini mereka merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan taqwa. 
  • Ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan ditingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya karena kewibawaan dan keagungan-Nya.

7)     Musyahadah.

Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminology persepektif tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai Musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah ada dalam hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu yaitu Allah. Dalam situasi ini seseorang mencapai tingkatan Ma’rifat dimana seseorang seakan-akan menyaksikan Allah melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.

8)    Yaqin.

Yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam ditambah dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin.


B. Pengertian Syukur

Secara etimologi kata syukur berasal dari bahasa Arab yaitu syakara yang maknanya adalah pujian kepada manusia atas kebaikan yang diperoleh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata syukur berarti rasa terima kasih kepada Allah SWT.

Pendapat lain menyatakan bahwa syukur berasal dari kata “ainun syakara” artinya penuh. Maksudnya adalah selalu mengingat orang yang memberi nikmat. Dalam hal ini syukur ada beberapa macam yaitu: 1) syukur hati, dengan cara menggambarkan nikmat dalam fikiran, 2) syukur lisan, dengan cara memuji dan menyanjung yang memberi nikmat, 3) syukur seluruh anggota tubuh, dengan cara mempergunakan nikmat sesuai fungsinya.

Sedangkan menurut Ibn Manzur berarti amalan hamba yang sedikit tumbuh dan berkembang di sisi Allah SWT sehingga Dia melipat gandakan pahala kepadanya. Ketika kata syukur digunakan untuk manusia maka lafalnya adalah katsir asy-syukri yang berarti banyak bersyukur. Maksudnya bersungguh-sungguh mensyukuri Tuhan-Nya dengan ketaatan dan melaksanakan seluruh kewajiban yang ditetapkan Allah SWT kepadanya dalam wujud ibadah.

a) Sebab-sebab Manusia Bersyukur

1. Meneladani sifat Allah SWT

# QS. Al Baqarah 158 :

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.”

# QS. Fathir 30

لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ

“Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”.

2. Menerima anugerah dan karunia Allah SWT yang sangat luas

Dalam al-Qur’an ada beberapa anugerah Allah SWT yang disebutkan secara eksplisit dan selayaknya mendapat perhatian serius bagi manusia, di antaranya: 

a).  Kehidupan dan kematian 

Pada dasarnya hidup dan mati seseorang adalah anugerah dari Allah SWT sebagaimana tertera dalam QS. al-Baqarah [2]: 56:

ثُمَّ بَعَثْنَاكُمْ مِنْ بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.”

b). Hidayah Allah SWT 

Hidayah Allah SWT diberikan dalam berbagai bentuk, diantaranya penurunan al-Qur’an sebagai pedoman dan pegangan hidup manusia, firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah [2]: 185

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

c). Pengampunan dan keringanan 

Ampunan dan keringanan yang diberikan Allah SWT dapat dilihat dalam firman-Nya QS. al-Baqarah [2]: 52:

ثُمَّ عَفَوْنَا عَنْكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur.”

d). Pancaindera

 Allah SWT menciptakan manusia dilengkapi dengan panca inderanya yang kesemuanya berfungsi untuk manusia itu sendiri. Ini dapat dilihat dalam QS. an-Nahl [16]: 78:

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

e).  Rezeki Untuk kelangsungan hidup manusia 

Allah SWT menganugerahkan rezeki-Nya kepada manusia, sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Anfal [8]: 26:

وَاذْكُرُوا إِذْ أَنْتُمْ قَلِيلٌ مُسْتَضْعَفُونَ فِي الْأَرْضِ تَخَافُونَ أَنْ يَتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَآوَاكُمْ وَأَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهِ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.”

3. Syukur dapat menambah nikmat

Allah SWT telah menegaskan bahwa ketaatan dan keingkaran hambaNya tidak ada pengaruh pada eksistensinya sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Kaya (QS. 31:12). Jika mereka bersyukur maka manfaat syukur tersebut akan dinikmati oleh dirinya sendiri, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. an-Naml [27]: 40: 

قَالَ الَّذِي عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا آتِيكَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ إِلَيْكَ طَرْفُكَ ۚ فَلَمَّا رَآهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

4. Menghindari azab Allah

Allah SWT berfirman dalam QS. an-Nisa’ [4]: 147:

مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَآمَنْتُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا

“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.”

b) Cara bersyukur 

  • Syukur dengan hati→ Syukur dengan hati diungkapkan sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh semata-mata karena anugerah dan kemurahan Allah SWT. 
  • Syukur dengan lidah→ Maksudnya adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat adalah memuji sang Pencipta yaitu melafalkan “alhamdulillah”. 
  • Syukur dengan anggota tubuh→ Maksudnya yaitu menyerahkan seluruh anggota tubuh kita kepada Allah Swt karna yang menciptakan kita adalah Allah Swt. Dengan melakukan kewajiban kita sebgai seorang mukmin yaitu melaksanakan Sholat.


C. Pengertian Ikhlas

Kata Ikhlas dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai: hati yang bersih (kejujuran); tulus hati (ketulusan hati) dan kerelaan. Sedangkan dalam bahasa Arab kata ikhlas berasal dari kata خلص yang mempunyai pengertian tanqiyah asy-syai wa tahdzibuhu (mengosongkan sesuatu dan membersihkannya). Ikhlas merupakan bentuk masdar dari kata أخلص يخلص اخلاصا yang secara bahasa berarti yang tulus, yang jujur, yang murni, yang bersih, dan yang jernih (shafa)  , naja wa salima (selamat), washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan diri), atau berarti perbaikan dan pembersihan sesuatu. 

Secara etimologi, kata ikhlas dapat berarti membersihkan (bersih, jernih, suci dari campuran dan pencemaran, baik berupa materi ataupun immateri). Sedangkan secara terminologi, ikhlas mempunyai pengertian kejujuran hamba dalam keyakinan atau akidah dan perbuatan yang hanya ditujukan kepada Allah. Kata ikhlas dalam Kamus Istilah Agama diartikan dengan melakukan sesuatu pekerjaan semata-mata karena Allah, bukan kerena ingin memperoleh keuntungan diri (lahiriah atau batiniah). 

Ada beberapa pendapat ulama mengenai pengertian ikhlas:

  • Menurut pendapat Abu Thalib al-Makki yang dikutip oleh Lu’luatul Chizanah mengatakan bahwa ikhlas mempunyai arti pemurnian agama dari hawa nafsu dan perilaku menyimpang, pemurnian amal dari bermacam-macam penyakit dan noda yang tersembunyi, pemurnian ucapan dari kata-kata yang tidak berguna, dan pemurnian budi pekerti dengan mengikuti apa yang dikehenaki oleh Tuhan. 
  • Menurut al-Qusyairi, ikhlas adalah penunggalan al-Haqq dalam mengarahkan semua orientasi ketaatan. Dia dengan ketaatannya dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada Allah semata tanpa yang lain, tanpa dibuat-buat, tanpa ditujukan untuk makhluk, tidak untuk mencari pujian manusia atau maknamakna lain selain pendekatan diri pada Allah. Bisa juga di artikan penjernihan perbuatan dari campuran semua makhluk atau pemeliharaan sikap dari pengaruh-pengaruh pribadi. 
  • Al-Ghazali menyatakan bahwa amal yang sakit adalah amal yang dilakukakn karena mengharap imbalan surga. Bahkan menurut hakikatnya, bahwa tidak dikehendaki dengan amal itu selain wajah Allah Swt. Dan itu adalah isyarat kepada keikhlasan orang-orang yang benar (al-siddiqiin), yaitu keikhlasan mutlak.” 
  • Muhammad `Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk Allah Swt. dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui kesamaan-Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan khusus seperti menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk mendapatkan keuntungan serta tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai pelindung. 

Dari definisi diatas, ikhlas merupakan kesucian hati dalam beribadah atau beramal untuk menuju kepada Allah. Ikhlas adalah suasana kewajiban yang mencerminkan motivasi bathin kearah beribadah kepada Allah dan kearah membersihkan hati dari kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang tidak menuju kepada Allah. Dengan satu pengertian, ikhlas berarti ketulusan niat untuk berbuat hanya karena Allah. 

Seseorang dikatakan memiliki sifat ikhlas apabila dalam melakukan perbuatan, ia selalu didorong oleh niat untuk berbakti kepada Allah dan bentuk perbuatan itu sendiri dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya menurut hukum syariah. Sifat seperti ini senantiasa terwujud baik dalam dimensi fikiran ataupun perbuatan. 

Dalam pandangan ilmu tasawuf, ikhlas mempunyai tingkatan-tingkatan tersendiri. Pertama, Ikhlas Awam, yaitu dalam beribadah kepada Allah, karena dilandasi perasaan rasa takut terhadap siksa Allah dan masih mengharapkan pahala. Kedua, Ikhlas Khawas, yaitu beribadah kepada Allah karena didorong dengan harapan supaya menjadi orang yang dekat dengan Allah, dan dengan kedekatannya kelak ia mendapatkan sesuatu dari Allah SWT. Ketiga, Ikhlas Khawas alKhawas yaitu beribadah kepada Allah karena atas kesadaran yang mendalam bahwa segala sesuatu yang ada adalah milik Allah dan hanya Allah-lah Tuhan yang sebenar-benarnya. 

Dari penjelasan diatas, tingkatan ikhlas yang pertama dan kedua masih mengandung unsur pamrih (mengharap) balasan dari Allah, sementara tingkatan yang ketiga adalah ikhlas yang benar-benar tulus dan murni karena tidak mengharapkan sesuatu apapun dari Allah kecuali Ridha-Nya.

a). Dalil Ikhlas

Islam menuntut pemeluknya untuk patuh dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Realisasi ini tidak bisa tercapai jika tidak diiringi dengan sikap ikhlas pada diri sendiri seorang hamba (‘abid). Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam Al-Qur’an surat al- Bayyinah ayat 5, yang berbunyi:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa segala pekerjaan atau perbuatan yang dikerjakan oleh setiap hamba Allah hendaknya senantiasa didasari dengan keikhlasan. Bila sikap ini mampu direalisasikan dalam semua dimensi kehidupan, maka pribadi setiap hamba tentu dapat terbentuk secara baik. 

Sikap ini merupakan tindakan tulus hati yang bisa memberikan ketenangan, kedamaian bagi diri pribadi dan orang lain. Lebih dari itu, sikap ini akan mampu memberikan pencerahan-pencerahan terhadap dimensi-dimensi lain seperti: terbentuknya sikap taat beribadah, rasa tanggung jawab, terbentuknya pribadi yang disiplin, sikap keakraban yang tinggi dan lain-lain. Karena itu Allah memberikan keistimewaan bagi orang-orang yang memiliki sikap ikhlas ini.

b). Tujuan Ikhlas

Soffandi dan Wawan Djunaedi berpendapat, bahwa tujuan dari ikhlas adalah “membebaskan manusia dari godaan hawa nafsu jahat (lawwamah) dan kesalahan- kesalahannya sehingga ia dapat berdiri di hadapan Allah SWT dalam keadaan lapang”. Sementara al-Qusyairi berpendapat bahwa tujuan ikhlas adalah “untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT”. 

Adapun al-Qurtubi menegaskan bahwa tujuan ikhlas pada hakikatnya adalah “untuk meningkatkan martabat umat manusia selama di dunia hingga akhirat nanti”. Hal ini di karenakan sikap ikhlas tersebut mencerminkan hubungan yang harmonis sesama muslim, hubungannya dengan sang pencipta atau khaliq yaitu Allah SWT serta hubungan dengan diri pribadi sebagai seorang muslim yang sejati. Ringkasnya, tujuan hidup bahagia dan sejahtera seperti yang diajarkan Islam akan dapat dicapai, apaapabila hal-hal yang menyangkut dengan ikhlas itu benar-benar dapat dihayati dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu tidak terlepas dari konsep Islam itu sendiri yang mengajarkan manusia untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

c). Ciri-Ciri Orang Ikhlas

  • Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”
  • Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah). Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun. 
  • Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang da’i yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama da’i, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya. Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.
  • Tidak mencari populartias dan tidak menonjolkan diri. 
  • Tidak silau dan cinta jabatan. 
  • Tidak diperbudak imbalan dan balas budi. 
  • Tidak mudah kecewa. 
  • Yang terakhir adalah Jika anda istiqomah dalam menghafal Al-Qur’an, maka anda termasuk orang-orang yang ikhlas dan jujur dan sungguh Allah akan senantiasa membantu perjuangan anda.

d) Cara Membina Sikap Ikhlas

Beberapa metode yang cocok untuk digunakan dalam membina sikap Ikhlas pada pribadi muslim sehari-hari. Adapun metode-metode tersebut menurut Abuddin Nata antara lain:

  1. Metode Tabyin: Menurut Mahmud Yunus, kata bayyana artinya; menyatakan atau menerangkan. Metode tabyin yaitu memberikan penjelasan kepada anak setelah memberitahukan tentang sesuatu secara perlahan. Dalam pembinaan sikap ikhlas pada anak dapat dilakukan dengan menggunakan metode tabyin yaitu dengan memberikan pemahaman kepada anak tentang pembahasan pentingnya dan hikmah yang didapatkan oleh seseorang yang mempunyai sikap ikhlas. Penerapan metode tabyin dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada setiap muslim keberuntungan dan pahala yang didapatkan oleh orang yang ikhlas dalam bahaya dan siksa yang akan diberikan oleh Allah SWT kepada orang- orang yang takabur dan riya. Dengan memberikan pemahaman tersebut, muslim akan menyadari bahwa orang yang ikhlas akan dicintai oleh Allah SWT. Sebagai contoh, seorang guru memberikan penjelasan kepada anak didiknya mengenai pahala dan keberuntungan yang akan didapatkan oleh orang-orang yang melakukan sesuatu bukan mengharapkan pujian dan pamrih, tetapi hanya semata-mata ikhlas karena Allah SWT. 
  2. Metode Keteladanan: Teladan adalah sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh (tentang perbuatan, kelakuan, sifat, dsb). Teladan yang dimaksud adalah perbuatan, sikap dan kelakuan yang terpuji seorang pendidik, baik orang tua maupun guru dan akan dicontohi oleh setiap anak didiknya. Dengan demikian, setiap pendidik harus mampu menunjukkan contoh teladan yang baik kepada anak didiknya. Setiap orang tertentu saja menginginkan anaknya menjadi orang yang baik dan berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Orang tua yang baik adalah orang tua yang mampu mengarahkan anaknya kepada tujuan yang diinginkannya. Tujuan tersebut akan tercapai apabila ia menerima semua yang baik-baik dari orang tuanya, mulai dari makanan yang ia makan, pendidikan yang ia terima sampai sikap kedua orang tua yang dijadikan sebagai panutan dalam menghadapi kehidupan di masa depan. Contoh teladan sebagai metode pertama yang harus dilaksanakan oleh orang tua dalam membina akhlak anak. 

___________________O_P_I_N_I__________________
Secara etimologi kata syukur berasal dari bahasa Arab yaitu syakara yang maknanya adalah pujian kepada manusia atas kebaikan yang diperoleh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata syukur berarti rasa terima kasih kepada Allah SWT.
Syukur adalah sebuah pengakuan sungguh-sungguh bahwa semua rejeki dan anugerah yang menghadirkan perasaan nikmat dalam jiwa kita tidak didapat dengan usaha kita sendiri, melainkan berasal hanya dari Allah SWT. Ketika seseorang sudah terbiasa bersyukur berarti keimanan selalu bertambah dan semakin berbobot.
Untuk itu, kita sepatutnya bersyukur atas apa yang telah Allah SWT berikan kepada kita. Sebab, begitu banyak manfaat jika kita bersyukur, diantaranya: memberikan perasaan nyaman, menciptakan emosi yang positif, dapat membentuk pola pikir sukses, hati menjadi tenang, dijauhkan dari penyakit hati, hidup menjadi lebih berkah, dan masih banyak lagi.


Sedangkan kata Ikhlas dalam KBBI diartikan sebagai: hati yang bersih (kejujuran); tulus hati (ketulusan hati) dan kerelaan. Sedangkan dalam bahasa Arab kata ikhlas berasal dari kata خلص yang mempunyai pengertian tanqiyah asy-syai wa tahdzibuhu (mengosongkan sesuatu dan membersihkannya). Ikhlas merupakan bentuk masdar dari kata أخلص يخلص اخلاصا yang secara bahasa berarti yang tulus, yang jujur, yang murni, yang bersih, dan yang jernih (shafa), naja wa salima (selamat), washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan diri), atau berarti perbaikan dan pembersihan sesuatu. 

Ikhlas itu letaknya di hati. Ketika hati seseorang menjadi baik dengan ikhlas, maka anggota badan yang lain ikut menjadi baik. Begitupun sebaliknya.
Ikhlas bagi amal ibarat pondasi bagi sebuah bangunan dan ibarat ruh bagi sebuah jasad, seperti sebuah bangunan yang tidak akan bisa berdiri kokoh tanpa pondasi. Seperti halnya jasad yang tidak akan bisa hidup tanpa ruh. Maka dari itu, jika amal sholeh kosong dari keikhlasan akan menjadikannya mati, tidak bernilai serta tidak membuahkan apa-apa.
Belajar Ikhlas dalam hal apapun memang berat untuk dilakukan, namun jika rasa tulus Ikhlas terus perlahan ditanamkan pada diri kita, pasti lama-lama rasanya mudah dan enteng untuk mengikhlaskan apa yang perlu diikhlaskan.  
Ikhlas itu sendiri banyak sekali mendatangkan manfaaat, antara lain: Mendapatkan pahala dari Allah SWT, mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT, hati menjadi ringan dan lapang, dijauhkan dari rasa (benci, iri, dengki dan sebagainya), keimanan kepada Allah SWT semakin bertambah, dicintai oleh sesama manusia, dll.


Cukup sekian dan terimakasih🤗
Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KHAUF DAN RAJA'

MAQAMAT TAWAKKAL & MAHABBAH

First time blog!!! Introduce myself